Setia Pada Kebenaran Adalah Harga Mati.
"Mengapa Kamu masih bertahan membela orang itu?" tanya Andi dengan muka sangat heran.
*Emang Dia siapamu?"
"Keluargamu?"
"Saudaramu?"
"Temanmu?"
Aku hanya mampu menggelengkan kepalaku.
"Nah. Untuk apa Kamu membelanya? Sikapmu itu membahayakanmu. Hidupmu dalam bahaya kalau Kamu bersikeras membelanya. Kamu tahu kan?" desak Andi yang semakin tak sabar melihatku menatapnya dengan tajam.
^Ya, aku tahu. Aku tahu resikonya. Aku bisa saja mati dibunuh karena membelanya.", jawabku lirih.
"Kamu tahu itu dan masih ngotot membelanya. Untuk apa? Kurang kerjaan amat.", kata Andi dengan geram.
"Kalau aku nggak membelanya, dia bisa mati.", jawabku.
"Biarin aja dia mati. Itu resiko dia berani mengungkap kebobrokan dan penggelapan uang perusahaan." kata Andi dengan geram.
"Andi! Kamu tega itu terjadi padanya?" tanyaku dengan geram.
"Daripada Kamu yang mati.", jawab Andi sambil memalingkan mukanya.
"Kalau memang aku harus mati karena membelanya, mungkin itu sudah takdirku.*, kataku lirih.
"Salsa, Kamu gila. Edan Kamu.", teriak Andi lantang.
"Kamu boleh bilang aku gila, edan, atau apapun yang mau Kamu katakan An. Tapi aku harus membelanya karena Ghani melakukan hal yang benar dan seharusnya dia lakukan.", jawabku tegas.
"Nyawamu taruhannya, Salsa. Kamu tahu itu.", kata Andi dengan gemas.
"Ya, setia pada kebenaran harga mati bagiku, An.", jawabku dengan tegas tak terbantahkan.
Dien 27122021
Comments
Post a Comment